Hal ini yg dialami oleh Muhammad Rizky Hari (11), akibat jajanan berbahaya ini, bocah asal Sidoarjo ini harus menjalani cuci darah dua kali seminggu di RSUD Dr Soetomo. Ny Samini (41), ibu anak kelas 4 SD itu, awalnya tidak tahu apa yang dimakan anaknya saat di sekolah. Begitu anaknya mengidap gagal ginjal, ia mendapat penjelasan bahwa penyakit itu diderita Rizky karena sering mengonsumsi makanan dan minuman berwarna di sekolah.
Sebelum masuk ke RSU dr Soetomo, Rizky sakit selama empat hari. Saat diperiksakan ke dokter, Rizky diduga kena tipus. Lalu dibawa ke RS Siti Khadijah Sidoarjo. Selang beberapa waktu, Samini kaget mendengar keterangan petugas medis bahwa anaknya gagal ginjal. Rizky lantas dirujuk ke RSU dr Soetomo. Sorenya, ia menjalani pemeriksaan dan dilanjutkan cuci darah. Setelah itu, Rizky langsung diopname di Ruang Perawatan Bona RSU dr Soetomo hingga sekarang.
Kini, setiap hari Rizky menghindari makanan berwarna. Selama berada di RSUD Dr Soetomo, asupan makanan yang diberikan berbahan alami. Dalam waktu dekat ini, rencananya Samini akan mengikuti pelatihan Continues Ambulatory Peritoneum Dialysis (CAPD) atau cuci perut. Dengan CAPD, Rizky bisa cuci darah di rumah dengan bantuan orangtua. Senasib, Ahmad Ahwani (12) siswa kelas 6 SD asal Lumajang juga harus cuci darah di RSUD Dr Soetomo.
Menurut ibunya, Isdiani (37), anaknya harus cuci darah dua kali seminggu sejak 20 Desember 2015. Awal masuk di RSUD Dr Soetomo, cuci darah dua hari sekali, lalu menjadi tiga kali seminggu. Cerita berawal ketika Isdiani menemani Ahwani berlibur sekolah ke Mojokerto. Tiba-tiba Ahwani mengeluh sakit dan batuk-batuk. Isdiani lantas membawa anak pertamanya itu ke rumah sakit terdekat. Isdiani kaget ketika dokter mengatakan, Ahwani sakit ginjal akut. Ia pun langsung merujuk anaknya ke RSUD Dr Soetomo.
Apakah Ahwani sakit disebabkan jajanan tidak sehat, belum diketahui pasti. Namun, Isdiani mengatakan anaknya pernah menderita radang ginjal. Beruntungnya, baik Rizky maupun Ahwani biaya pengobatannya di-cover BPJS Kesehatan. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya orangtua mereka apabila harus membiayai sendiri, karena setiap kali cuci darah setidaknya membutuhkan biaya Rp 800.000. Pasien gagal ginjal kini tidak hanya didominasi orang dewasa, melainkan juga anak-anak.
Dokter spesialis ginjal anak di RSUD Dr Soetomo, dr Ninik Soemyarso SpAK mengakui ada peningkatan jumlah pasien cuci darah dari kelompok anak-anak. "Sejak 5 tahun terakhir, jumlah pasien anak yang cuci darah meningkat. Sebelumnya, dalam setahun hanya ada 3-4 pasien, sekarang 5-10 pasien anak," kata dr Ninik. Dalam dua bulan terakhir ini sudah ada empat pasien anak yang menjalani cuci darah di RSUD Dr Soetomo. Rata-rata mereka berusia 10-12 tahun. Mereka terkena penyakit ginjal kronik memasuki stadium 5.
Penyebab meningkatnya jumlah pasien anak gagal ginjal, menurut Ninik, selain kini BPJS Kesehatan sudah meng-cover cuci darah, juga pola makan yang salah. Sekarang banyak jajanan anak yang menggunakan bahan pengawet dan pewarna buatan. Makanan tidak sehat itu berbahaya kalau dikonsumsi anak-anak secara terus-menerus. Misalnya, makanan yang banyak mengandung kalsium. Anak-anak yang sering mengonsumi makanan seperti itu bisa terkena batu ginjal. Batu yang terus membesar itu bisa merusak fungsi ginjal. "Saya tidak mau bicara banyak soal makanan. Karena bidang saya hanya ginjal anak. Memang pola makan yang salah bisa menyebabkan penyakit ginjal. Tetapi, jenis makanannya seperti apa, saya tidak bisa menjelaskan secara detail," ujarnya.
Menurutnya, pasien ginjal anak yg masuk ke RSUD Dr Soetomo rata-rata rujukan dari beberapa daerah. Pasien masuk sudah dlm kondisi terkena penyakit ginjal kronik stadium 5. Ia tidak tahu persis apa penyebab awal pasien terkena penyakit ginjal kronik. "Karena faktor penyebabnya banyak. Bisa karena kelainan genetik, infeksi pada usus, radang usus, dan pola makan tadi," katanya. Meningkatnya penyakit ginjal pada anak juga menjadi sorotan dunia. Rencananya, pada peringatan Hari Ginjal Sedunia pada 10 Maret 2016 akan mengambil tema soal penyakit ginjal pada anak. "Kami lebih banyak memberikan sosialisasi soal penyebab dan penanganan penyakit ginjal terhadap anak," ujarnya.
Sumber : tribunnews.com